You are currently browsing the category archive for the ‘Nahdlatul Ulama’ category.

Idham Chalid, Guru Politik Orang NU

Ahmad Muhajir, Pustaka Pesantren, Juni 2007

Sumber: http://www.nu.or.id

Tak bisa disangkal, Idham Chalid adalah sosok kontroversial dalam sejarah perpolitikan Nahdlatul Ulama (NU). Ia dianggap sebagai politikus yang tidak memiliki pendirian, mementingkan diri sendiri (egois), dan banyak merugikan kepentingan umat. Bahkan, sikap politiknya yang—dianggap—selalu mengambang di atas dan sering lebih menguntungkan pihak penguasa, membuat dirinya mendapat julukan ‘politikus gabus’ dari Gerakan Pemuda Ansor–organisasi sayap pemuda NU.

Benarkah semua asumsi itu? Buku ini secara jeli berusaha menguak sisi ruang batin Idham Chalid yang tidak terekam oleh ‘sejarah resmi’. Ahmad Muhajir, dalam buku ini, berupaya mengungkap apa yang disebut Urvashi Butalia sebagai ‘sisi balik senyap’ (the other side of silent), yakni berbagai hal tentang Idham yang riil dan hidup di tengah masyarakat, namun tidak dianggap penting sehingga tidak ter(di)suguhkan kepada kita. Berbeda dari persepsi umum yang berkembang di masyarakat mengenai gerak langkah ‘politik abu-abu’ Idham, buku ini mengangkat ‘sisi senyap’ di balik gerakan politik Idham. Melalui buku ini, penulis menelisik lebih jauh ruang terdalam manusiawi seorang tokoh kelahiran Kalimantan Selatan 85 tahun silam tersebut.

Sebagai seorang tokoh NU, Idham memainkan dua lakon berbeda, yakni sebagai ulama dan politisi. Sebagai politisi, ia melakukan gerakan strategis, kompromistis, dan terkesan pragmatis. Sebagai ulama, ia bersikap fleksibel dengan tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan tradisi yang diembannya. Ia telah berusaha keras mengupayakan terbentuknya kestabilan kondisi umat di bawah (grassroot) yang menjadi tanggungjawabnya. Meski berbagai stereotip bakal menimpa, ia tak memedulikannya.

Baginya, yang terpenting—dalam berpolitik—adalah berorientasi pada kemaslahatan dan berguna bagi banyak orang. Karenanya, tidak (perlu) harus ngotot dan kaku dalam bersikap, sehingga umat senantiasa terjaga kesejahteraan fisik dan spiritualnya. Apalagi di masa itu kondisi politik sedang mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa dan partai politik radikal semacam PKI dengan gerakan reformasi agraria (land reform) dan pemberontakannya.

Strategi politik tersebut dilandaskan pada tiga prinsip. Pertama, lebih menekankan sikap hati-hati, luwes dan memilih jalan tengah ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi yang justru membahayakan kepentingan umat. Kedua, politik yang memperhitungkan kekuatan umatnya di hadapan kekuatan rezim atau kekuatan lain di tengah masyarakat. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa demi kemaslahatan umat.

Dalam kaitan ini, Idham memandang bahwa NU harus ikut andil dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru lebih menyulitkan untuk bergerak. Hal ini, misalnya, terlihat ketika ia mengompromikan langkah pemerintah pada masa Orde Lama dengan Demokrasi Baru. Akan tetapi, ketidakmengertian tentang arah politik Idham tersebut, menyebabkannya harus tersingkir dan ter(di)lupakan begitu saja.

Karena itu, kehadiran buku ini tentu saja dapat membuka tabir tersembunyi atau sisi senyap pemikiran seorang Idham, sekaligus menambah deretan mozaik langkah para politisi NU dalam kancah politik yang kurang banyak diungkap ke permukaan. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan sebagai rujukan jejak politik tokoh-tokoh politik NU dalam mewujudkan strategi politik di masa lampau seiring semakin maraknya para ulama masa kini yang masuk ke ruang politik ketimbang ruang keumatan.

Di samping itu, nilai tambah buku ini adalah, Ahmad Muhajir juga melakukan tinjauan terhadap literatur-literatur ilmiah tentang Idham Chalid, seraya menyediakan gambaran bagaimana Idham dipotret oleh para sarjana Indonesia dan Barat. Akan tetapi, bagian utama dari teks ini dipersembahkan untuk menjelaskan dan menganalisis pemikiran politik keagamaan Idham, terutama yang berhubungan dengan sikap-sikap NU dalam merespon Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Muhajir memusatkan diri pada penafsiran Idham mengenai konsep syura serta bagaimana tafsiran itu digunakan untuk menjustifikasi penerimaan ideologi semi-otoriter Demokrasi Terpimpin.

Namun demikian, sekalipun bersimpati dalam menggambarkan sang tokoh, Muhajir tetaplah kritis. Sebagai sesama orang Banjar, tentu saja Muhajir memiliki wawasan budaya dan akses kepada sumber-sumber yang tidak dipunyai para sarjana terdahulu. Dia meneliti literatur klasik mengenai syura dan membandingkannya dengan penafsiran yang lebih kontemporer, sebelum berargumen bahwa tulisan-tulisan Idham mengenai konsep ini dipengaruhi oleh situasi politik yang dihadapi NU pada akhir 1950-an.

Praktis, buku setebal 169 ini layak dibaca siapa saja sebagai suatu permulaan bagi perdebatan yang lebih dalam mengenai kiprah Idham Chalid dan perannya dalam sejarah perpolitikan NU. Semoga!

*Peresensi adalah Penikmat Buku dan Kontributor Jaringan Islam Kultural

Perjalanan dan Ajaran Gus Miek

Nurul Ibad, LKIS, Maret 2007

Sumber: http://www.nu.or.id

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah tulisannya mengatakan, istilah kiai, gus, bindere, dan ajengan adalah sebutan yang semula diperuntukkan bagi para ulama tradisional di pulau Jawa, walaupun sekarang kiai sudah digunakan secara generik bagi semua ulama, baik tradisional maupun modernis, baik yang ada di pulau Jawa maupun di luar Jawa.

Sementara, menurut teori yang dilakukan Clifford Geertz yang menyebutkan, kiai sebagai “makelar budaya” (cultural brokers). Teori ini, kiai harus mampu membendung dan menjaga terhadap dampak negatif arus budaya yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat tradisional saat ini. Belum lagi kalau seorang kiai yang memiliki kualifikasi penuh, dan spesialisasi tersendiri dalam disiplin ilmu ke-Islam-an yang ia kuasainya. Kiai seperti ini, misalnya, KH. Hamim Djazuli, atau akrab disapa Gus Miek.

Gus Miek, putra KH. Jazuli Utsman, salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnuya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal.

Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid, Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.

Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan (hal: 113 dan 133).

Buku ini, mengulas tuntas perjalanan Gus Miek sejak ia lahir sampai kematian yang menjadi langkah awal untuk berjumpa Sang Khaliq. Di samping itu juga, buku ini mengisahkan seputar kearifan dan lika-liku perjalanan seorang Gus Miek. Gus Miek adalah, salah seorang dari sekian ulama besar Jawa yang berkharisma lantaran Allah telah menganugerahinya sebuah keistimewaan yang jarang dimiliki khalayak umum.

Dengan demikian, di balik keistimewaan dan karifan Gus Miek yang menyimpan banyak kisah mesteri dan penuh kontroversial ini, sangatlah penting untuk patut diteladani, khususnya bagi masyarakat pesantren. Karena apa yang dilakukan Gus Miek, tentunya memiliki arti penting bagi kita dalam memahami sikap dan perilakunya.

Selain itu, buku ini adalah hasil penelitian yang diperoleh melalui metode kualitatif yang berupa pengamatan dan wawancara mendalam ke berbagai tokoh. Dengan cara demikian, Muhammad Nurul Ibad, penulis buku ini, telah menentukan pilihan yang amat sesuai dengan bakatnya, sehingga, darinya dapat diperoleh informasi yang begitu langsung dari para keluarga Gus Miek, dan 100 tokoh yang tersebar mulai dari Jakarta sampai Jember.

Sungguh menarik, gambaran hasil penelitian penulis mengenai sosok perjalanan Gus Miek semuanya disajikan dengan bahasa yang egaliter, sistematis, komonikatif sehingga siapa pun, dari kasta sosial apa pun mudah menangkapnya.

Sayang, penulis buku ini hanya banyak mengandalkan hasil-hasil penelitian yang diproleh secara kuantitatif yang berupa pengamatan dan wawancara saja, tidak secara kualitatif. Sehingga dimungkinkan data-data yang diperoleh penulis itu tidak valid. Sebab, bisa jadi data itu tidak sama dengan maksud tokoh-tokoh tersebut.

Dari buku ini setidaknya dapat menjadi langkah awal sejauhmana bisa kita mengenal sosok, dan latar belakang Gus Miek. Dengan harapan, agar muncul para penulis dan peneliti yang bisa menulis biografi para tokoh-tokoh lain, terutama tokoh pesantren. Karena, selama ini buku-buku yang membahas tokoh-tokoh pesantren relatif terbatas.

* Peresensi adalah pecinta buku, Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura. Kini Aktif sebagai guru pada Madrasah Ibtidaiyah Al-Qodiri, Batang-batang, Sumenep, Madura.