You are currently browsing the category archive for the ‘Sosial Budaya’ category.

Dai Selebritis

Solichul Hadi, Harmonia

Madzhab-madzhab Antropologi

Nur Syam, LKIS

Dunia Mistik Orang Jawa

Capt. R.P Suyono, LKIS, 280

Sumber: http://www.nu.or.id

Sejarah adalah tapak yang seringkali harus ditengok karena dari situ kita dapat menengarai pola yang sama dari peristiwa yang berlainan dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah mengajak kita untuk menyadari bahwa pada akhirnya setiap peristiwa dapat tersimpan dalam benak masyarakatnya dan menjadi, tidak saja living memories, tetapi juga living traditions yang melintasi batas ruang dan waktu melalui penuturan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sejarah juga merupakan serpihan kebenaran dan pengetahuan berserakan yang kemudian dikumpulkan, ditata ulang agar lebih bermakna dan dapat dinikmati generasi sesudahnya.

Dunia Mistik Orang Jawa adalah sebuah buku karya Capt. R.P. Suyono yang mengajak kita mengarungi lorong-lorong itu. Melalui buku ini, penulis mengundang kita berperan serta dalam menapaki jejak masa lalu guna menggali dan menemukan kembali makna sebuah sejarah yang pernah ada, menjadi bagian pengalaman hidup masyarakat. Dan, pengalaman masa lampau itu adalah seputar kehidupan orang Jawa, terutama yang terkait dengan mistik yang berkembang sejak sebelum Perang Dunia Kedua.

Mistik—menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia—adalah hal-hal gaib yang tidak terjangkau akal manusia, tetapi ada dan nyata. Para antropolog dan sosiolog mengartikan mistik sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan kebersatuan dengan Tuhan. Mistik merupakan keyakinan yang hidup dalam alam alam pikiran kolektif masyarakat. Alam kolektif akan kekal abadi, meskipun masyarakat telah berganti generasi—kecuali jika masyarakat itu telah lenyap. Demikian pula dengan mistik orang Jawa. Keyakinan itu telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Dunia mistik memang identik dengan orang Jawa. Tidak heran, kalau banyak buku, majalah, dan tayangan televisi yang berbau sihir, ilmu hitam, ataupun berbagai kejadian aneh, tayangan semacam itu langsung mendapat sambutan yang meriah dari khalayak. Mistik seakan sudah begitu kental, menyatu dengan masyarakat kita dan sulit untuk ter(di)pisahkan sama sekali. Berbagai keyakinan tentang adanya hantu, tempat keramat, azimat, dan santet masih menggelayuti benak mereka. Bahkan, ketika zaman kolonial—ketika orang Jawa sudah banyak yang menganut agama formal, seperti Islam, Hindu, dan Nasrani— pun tampaknya belum mampu menghilangkan keyakinan tentang adanya kekuatan gaib

Menurut penulis, buku ini sejatinya hasil terjemahan dari karya Van Hien, seorang ahli Javanologi Belanda, berjudul De Javansche Geestenwereld (Dunia Roh Orang Jawa), yang diterbitkan setebal tiga jilid, pada sekitar tahun 1920. karena kelihaiannya menguasai bahasa Belanda, memungkinkan penulis menikmati karya yang sudah tergolong sangat langka itu. Bahkan, di negeri Belanda sendiri, buku semacam itu sudah tidak lagi beredar di pasaran, karena memang pada masa penjajahan Jepang, semua buku yang berbahasa Belanda harus dimusnahkan. Jika ada yang ketahuan menyimpannya, akan ditangkap dan dihukum oleh Polisi Rahasia Jepang.

Belanda yang pernah menjajah kita selama 350 tahun ternyata tidak hanya mengeruk hasil kekayaan bumi, melainkan juga mencatat berbagai keyakinan yang berlaku di masyarakat saat itu secara detail. Pemahaman tentang keyakinan itulah yang dijadikan penjajah sebagai alat untuk menguasai kita. Kita sendiri justru tidak memiliki catatan yang memadai tentang itu. Karena itu, membaca buku ini berarti berusaha untuk tidak melupakan keyakinan itu. Apalagi masa penjajahan, yang begitu pahit, seharusnya tidak boleh kita lupakan begitu saja.

Maka, kehadiran buku ini jelas dilatari ketakutan akan hilangnya fakta adanya suatu keyakinan yang pernah dianut oleh orang Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Supaya fakta itu tidak lenyap begitu saja, masyarakat yang melihat tayangan—paling tidak di berbagai media cetak dan elektronik selama ini—mengenai berbagai dunia mistik, dapat merunut asal-usulnya ke suatu sumber yang berakar di masyarakat kita sendiri. Dalam buku setebal 280 halaman ini termuat beragam agama dan kepercayaan, dunia roh, benda-benda magis, ritual, perhitungan waktu, ramalan Jayabaya, sampai tempat-tempat angker yang masih terdapat di Pulau Jawa sampai saat ini.

Akhirnya, kehadiran buku ini menjadi begitu penting untuk dibaca siapa saja. Prestasi kesejarahan yang telah dicapai Capt R.P. Suyono dalam buku ini sungguh sayang dilewatkan. Bukan hanya sebagai kontribusi kekayaan intelektual semata. Lebih dari itu, buku ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengingatkan kembali fakta sejarah masyarakat kita, utamanya masyarakat Jawa. semoga!

(Alumnus Pondok Pesantren Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan,
Mahasiswa Akhir Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Tuanku Rao

Mangaradja Onggang Parlindungan, LKIS

Sumber: http://www.nu.or.id

Memperbincangkan sejarah, serasa tidak akan pernah sampai pada puncak kebenaran. Semua serba nisbi, relatif. Sebab, sejarah erat kaitannya dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan masa lalu, yang supaya bermakna perlu ditata dan ditafsirkan ulang. Jadi, sejarah (hanya) merupakan tafsir. Dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru upaya untuk mendekati sebuah kebenaran. Itulah mengapa Friederich Nietzsche, filsuf berkebangsaan Jerman, pernah menyatakan, tidak ada fakta dalam masalah kebenaran dan pengetahuan, yang ada hanyalah tafsir. Tampaknya ungkapan itu juga sesuai untuk sejarah.

Tuanku Rao adalah sebuah buku yang berupaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lampau itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui buku ini, penulis (M.O. Parlindungan), mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu Tanah Batak secara gamblang, dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Madzhab Hambali di Tanah Batak pada 1816 sampai 1833.

Selama berlangsungnya perang, pasukan kaum Paderi tidak hanya berperang melawan Belanda, namun mereka juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, untuk meng-Islam-kan Tanah Batak Selatan dengan menggunakan kekerasan senjata. Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan, oleh penduduk setempat, sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol), karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin oleh orang-orang Batak sendiri, yakni, Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao) dan Idris Nasution (Tuanku Nelo), serta Jatengger Siregar (Ali Sakti).

Menurut penulis, setidaknya terdapat dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Madzhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh adanya dendam lama keturunan Marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, Dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin Marga Siregar pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh keturunan Marga Siregar, yaitu akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua segenap anak cucunya.

Penyerbuan pasukan Paderi baru terhenti pada 1220, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang. Sebagian besar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana peng-Islam-an seluruh Tanah Batak tidak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, dan tubuhnya dicincang-cincang oleh Halimah Rangkuti, yang merupakan salah satu tawanan sekaligus selirnya.

M.O. Parlindungan, dalam buku ini, lebih memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan story telling style (gaya bertutur), yang pada awalnya memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah letak salah satu daya tarik buku ini. Ia muncul secara original karena fokus kajiannya lebih ditekankan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri, ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif, seperti yang dilakukan kebanyakan sejarawan selama ini. Menariknya lagi, dokumen yang digunakan sumber penulis dalam menulis buku ini, semula adalah warisan dari sang ayah sendiri, Sutan Martua Raja Siregar, cucu Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Lelo (hal. 358).

Meski kita tak harus menyetujui keseluruhan ulasan maupun perdebatan yang menyertainya, praktis buku ini demikian berharga dan sayang untuk dilewatkan. Dengan keruntutan bahasa yang disajikan, buku ini jelas sangat imajinatif. Selain itu, buku ini juga diperkaya dengan 34 lampiran, yang antara lain berisi silsilah Raja-Raja Batak dan Minangkabau, serta dipenuhi serangkaian penelitian Willem Iskandar, di samping dokumen Klenteng Sam Po Kong, Semarang, hasil penyelidikan Residen Poortman, prestasi kesejarahan yang telah dicapai M.O. Parlindungan lewat buku setebal 691 halaman ini sayang diabaikan, terutama bagi kalangan ilmuwan yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding tema ini.

Dus, kehadiran buku ini patut menduduki tempat khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak. Adalah tidak berlebihan jika mengatakan bahwa karya yang inovatif ini merupakan satu dari beberapa gelintir karya yang akan menyulut perdebatan kalangan ilmuwan. Utamanya perdebatan mengenai historiografi Indonesia itu sendiri. Sebuah karya yang fantastis.

Peresensi adalah Pustakawan, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya