You are currently browsing the category archive for the ‘Novel Populer Pesantren’ category.

Jerawat Santri

Isma Kazee, Matapena, Agustus 2006, vi + 196 halaman

Apa yang akan kamu lakukan ketika di usia 15 tahun, kamu belum juga menemukan tanda-tanda kedewasaan, fisik dan psikis, pada dirimu? Masih pakai kaos dalam, sementara teman-teman yang lain sudah pakai bra? Belum kenal bedak apalagi merasa suka sama cowok? Sibuk membayangkan bagaimana menstruasi itu, sementara teman-teman kamu sudah sibuk memilih pembalut yang cocok? Kira-kira, kamu akan biasa-biasa saja, atau jangan-jangan akan gelisah dan cemas seperti Launa?

Yap! Launa memang cemas. Meskipun ia tahu persis usia datangnya perubahan fisik dan psikis pada seseorang tak bisa disamakan. Apalagi belakangan tambah banyak saja pertanyaan dan gojlokan yang muaranya ke tanda-tanda kedewasaan itu. Membuat Launa sadar betul kalau dirinya memang telat! Karena di antara 30 anak yang menghuni kamar Pena 4, kamar yang ia tinggali sejak pertama masuk pesantren, cuma dirinya saja yang masih “anak-anak”, belum menstruasi! Lengkap sudah kecemasannya. Dan, sejak saat itu ia terus bertanya-tanya: Kapan aku bisa seperti mereka?

Ini adalah potret psikologi seorang Launa yang tinggal di pesantren. Pada saat ia jauh dari orang tua, ternyata sahabat adalah sosok kedua yang bisa berperan dalam proses kedewasaannya. Dari sekadar menjadi tempat bertanya tentang bagaimana memakai pembalut yang benar, tentang cinta, sampai tempat belajar untuk menentukan pilihan sikap. Yang jelas, karena sahabat juga, Launa menjadi paham, kalau usia tua itu pasti, sementara dewasa adalah pilihan ;))

Coz Loving U Gus

Pijer Sri Laswiji, Matapena, April 2006, viii + 194 halaman

Cinta tidak memberikan apa-apa kecuali hanya dirinya Cinta pun tidak mengambil apa-apa kecuali dari dirinya Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki Karena cinta telah cukup untuk dicinta (Kahlil Gibran)

Rara hafal sekali puisi itu. Malah di luar kepala. Tidak cuma edisi Indonesianya, Inggrisnya juga iya. Habis yang pertama memperkenalkan puisi itu kan gusnya, Gus Azka. Putera Romo Yai yang bisa bikin ia gemetar, kaku kemerah-merahan, bingung, dan grogi banget, hanya dengan mendengar nama dan suaranya.

Pantesan kalau Rara kemudian jadi berubah total. Dari aktivis kampus yang cuek bebek sama pondok, suka molor pagi hari emoh ngaji, suka sembunyi-sembunyi melanggar peraturan, eh… jadi Rara yang santri abis! Siap-siap jadi Ibu Nyai gitu. Jadi Bidadarinya Azka. Persis sama namanya, Haura. Artinya kan Bidadari.

Tapi, masak iya sih Rara bakal jadi Bidadarinya Gus Azka?

Santri Tomboy

Shachree M. Daroini, Matapena, Maret 2006, vi + 180 halaman

Di mata teman-teman santri, Amalia Zarqo’ Zaituna adalah sosok tomboy yang pemberani. Ia paling tidak suka melihat teman-teman puterinya dibuat kalah-kalahan sama anak-anak putera. Sekali saja ia menemukan kejadian itu, tanpa segan-segan ia akan mengeluarkan jurus labrak dan bombardir peluru kemarahannya.

Zarqo’ juga tak pernah bisa diam. Apalagi yang ada hubungannya sama peraturan-peraturan yang mengikat di pesantren. Bakat usil dan ‘nakal’-nya tak pernah jera mengajaknya berpetualang, Meskipun buntutnya adalah berhadapan dengan bagian Keamanan pesantren.

Hingga suatu saat, dengan kamera pinjaman sang kakak, tanpa sengaja ia berhasil merekam pelanggaran yang dilakukan pengurus pesantren, di sebuah alun-alun kota. Dari sinilah petualangan Zarqo’ dimulai. Ia merasa bertanggung jawab untuk membongkar ketidakadilan hukum di pondoknya. Bagaimanapun pengurus adalah santri juga, dan punya kewajiban untuk menaati peraturan. Jika melanggar, sepatutnya juga mendapatkan sanksi.

Tapi, ternyata perjuangan Zarqo’ tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia harus berhadapan dengan semangat nepotisme para pengurus dan image miring tentang kenakalannya. Hasilnya, ia malah dituduh menyebar fitnah karena tanpa sengaja ia kehilangan barang bukti kaset kamera yang terbawa kakaknya. Untunglah, Zarqo’ tak pernah putus asa. Meskipun rambut kepalanya sudah habis digundul bagian Keamanan, ia tetap percaya diri, menjadi sosok tomboy yang pemberani dari Bilik Santri ;))

Santri Nekat

Otto Sukatno, Matapena, Februari 2006, iv + 176 hlm

Jaka tertangkap basah mencuri di pesantren Kiai Hasan. Ia memang babak belur terkena pukulan nyasar para santri. Selama satu bulan, sesuai kesepakatan, ia juga dihukum oleh sang kiai untuk mengelola perairan pesantren ples mengumandangkan azan tiap waktu shalat tiba. Tapi boleh jadi, peristiwa pagi itu merupakan berkah tiada tara buat dirinya. Berkah mendapatkan tempat tinggal dan pengobatan, makan minum gratis, uang jatah tiga ribu rupiah per hari, lingkungan hidup yang lebih terjamin dari sebelumnya, dan berkah mendapat cinta dari puteri kiai yang cantik, Ummu Mufidah.

Masalahnya, bisakah Jaka mempertahankan berkah itu? Termasuk berkah mempersunting puteri kiai? Preman yang tidak jelas asal usulnya. Biasa mencuri dan bermain dengan perempuan, di masa lalunya?

Oho. Kayaknya sih berat! Untungnya Jaka orang yang nekat. Orang nekat biasanya tak kenal kata menyerah. Masa hukuman yang hanya satu bulan, bisa ia ulur hingga berbulan-bulan. Untuk melancarkan jurus maut pada si Ummi, dan untuk membalik logika sepadan bobot, bibit, bebet dalam pernikahan yang dipegang kukuh oleh Pak Kiai. Jaka memang pintar, berhasil membuat orang tua Umi Mufidah itu mengerutkan kening dan berpikir-pikir. 😉

Love in Pesantren

Shachree M. Daroini, Matapena, Januari 2006, vi + 276 hlm.

Komar memang suka bikin ulah. Di sekolah, juga di pondok. Ia seneng banget bersembunyi di loteng kamar, menghindari gebukan sajadah Keamanan pesantren untuk membangunkan tidur santri yang molor. Masuk sekolah sering terlambat, suka berkelahi, dan biasa mbolos pelajaran dengan nongkrong di warung Mak Tarwiyah bersama Jaim, Rosi, dan Purwo. Sampai-sampai, ia dan tiga sahabatnya itu menjadi contoh anak-anak bermasalah di sekolah.

Tak heran jika Pak Rahmat, sang kepala sekolah, berhasil dibuat marah dan naik pitam oleh Komar. Apalagi, Pak Rahmat tahu kalau Komar yang urakan itu sudah berani mengenalkan cinta pada puterinya, Siti.

Perang antara Komar dan Pak Rahmat pun dimulai. Komar yang keras, jelas-jelas tidak bisa menerima sikap Bapak Kepala Sekolah yang kolot dan pemarah itu. Apalagi, Pak Rahmat memang tak kenal sama sekali dengan yang namanya cinta. Jangankan mencintai anak muridnya, bersikap penuh cinta pada keluarganya saja dia gagap.

Padahal, sebenarnya bagi Komar, masalahnya tak harus serumit perseteruan antara dirinya dengan Pak Rahmat. Jika jalan yang satu itu ditempuh juga oleh ayah kekasihnya itu. Yaitu jalan cinta. Karena kekuatan cinta bisa melunturkan kegarangan Komar sekeras baja sekalipun. ;))

Pangeran Bersarung

Mahbub Jamaluddin, Matapena, Oktober 2005, vi + 412 halaman

Filosofi cinta yang ada dalam Pangeran Bersarung mungkin adanya cuma di pesantren. Soalnya, filosofi cintanya coba menunjukkan hubungan antara sarung–kostum khas para santri–dengan cinta. Sarung dan cinta, sama-sama alat yang bisa digunakan untuk hal positif, atau malah mencelakakan, tergantung bagaimana si empunya menggunakan dua alat itu.

Seperti Puji yang pada mulanya bersikap hati-hati dengan yang namanya cinta. Apalagi kata Suryo, teman pondoknya, cinta itu sejenis sama cewek yang bisa bikin mati kreativitas. Akan membayang-bayangi dan menyiksa. Makan enggak enak, tidur enggak lelap. Walhasil mengganggu proses belajar dan ngaji kan.

Jadilah Puji menghindar dari Sofi yang diam-diam dicintainya. Ia juga tidak ambil pusing dengan Puspa yang blak-blakan bilang suka ke dirinya. Bahkan, ia bolos tidak sekolah untuk menghindari berhubungan dengan cewek. Wah, tambah kacau kan? Ini sama saja Puji memakai sarungnya buat gantung diri, bukan menutupi aurat.

Untunglah bapaknya yang mantan playboy itu segera dimunculkan ke pondok. Ia menurunkan ilmu tentang konsep ‘witing tresno’-nya kepada sang anak. Karena wit / pohon itu bisa tumbuh baik dengan dipupuk, begitu pun dengan cinta. Sama persis dengan kasus perasaan Puji ke Puspa yang mulanya biasa-biasa saja. “Kalau kamu gunakan cinta itu untuk mengisi ruhmu, dan kamu arahkan pada kebaikan dan hal-hal positif, ia akan menjadi tenaga supersonik yang membuatmu melesat bagai pesawat,” begitu kata si bapak. ;))

Santri Baru Gede

Zaki Zarung, Matapena, Agustus 2005, vi + 258 hlm

Seperti kebanyakan remaja, masa baru gede dalam kehidupan santri juga dipusingkan dengan problem pencarian eksistensi dan ketertarikan dengan lawan jenis. Hanya saja, cerita santri baru gede sudah pasti tetap menawarkan sesuatu yang unik dan jarang-jarang dijumpai di luar yang namanya kehidupan pesantren.

Catet yah! Kenapa demikian? Pertama, karena santri tinggal dalam lingkungan yang penuh dengan berbaris-baris peraturan. Jadi, tidak bisa berlaku asal-asalan dan seenaknya sendiri kalau tidak mau mendapat teguran seksi Keamanan. Kedua, jatah waktu santri tak sebanyak pilihan dan keinginan yang ada dalam benaknya. Di sini ia harus pintar-pintar memilah, atau juga berkompromi, kalau tidak mau dibikin bingung sendiri. Ketiga, sementara tak ada orang tua yang selama dua puluh empat jam bisa menggandengnya dan menjadi tempat pencarian solusi. So, dia harus pintar-pintar cari yang namanya sahabat dan orang gede yang bisa diajak ngobrol.

Seputar tiga itulah Zaki mengolah jalan cerita lewat tokoh Irahadi, alias Raha, dalam Santri Baru Gede. Misalnya bagaimana Raha harus berhadapan dengan seksi Keamanan karena ketahuan bolos ngaji gara-gara jalan-jalan ke Malioboro. Mendapat teguran karena lebih memilih ekskul daripada kegiatan pesantren. Dan, yang tak kalah serunya, ia harus maju mundur menghadapi Filan. Antara berprinsip, santri sejati tidak boleh “dekat-dekat” cewek, selain karena urusannya bakal runyam kalau ketahuan seksi Keamanan, dengan mendengar suara hatinya yang jelas-jelas naksir adik kelasnya itu. Terus, endingnya kira-kira gimana yah?

Yang jelas, sejak berkenalan dengan Mas Oji, pelatih teater, Raha perlahan-lahan mulai stabil dengan ke-diri-annya. Menentukan apa yang baik untuk ia lakukan, juga pandangannya soal cinta, pacaran, dan perempuan.

Maksudnya, ending Raha dengan Filan?

Oh, jelas happy ending. Cuma, proses menuju ending itu yang benar-benar menunjukkan uniknya santri yang baru gede, dan menarik buat dibaca. 😉

Kidung Cinta Puisi Pegon

Pijer Sri Laswiji, Matapena, Agustus 2005, vi + 222 hlm

Seperti banyak jalan menuju Roma, banyak juga jalan menuju cinta. Rutenya macam-macam, dan setiap orang punya cara tempuh sendiri-sendiri. Apalagi cinta di pesantren, lingkungan yang membatasi pertemuan antara laki-laki dan perempuan, kecuali ada kepentingan organisasi atau kepentingan bersama lainnya.

Maka, jangan heran juga kalau para santri ternyata tak kalah kreatif, memanfaatkan media untuk melakukan “pertemuan” cinta. Sebut saja Yeni yang memanfaatkan kantin pondok sebagai pos gratis untuk kiriman parcel. Ada juga yang memanfaatkan jam bebas usai kuliah untuk menemani sang pacar jalan-jalan ke mall. Atau, banyak juga yang berkomunikasi dengan Hp yang dititipin ke teman di luar pondok. Dengan risiko kalau ketahuan, pasti kena sita.

Itulah sedikit dari uniknya “curi-curi” para santri dalam Kidung Cinta Puisi Pegon. Termasuk jalan cinta versi Kia dan Haidar lewat jalur kekuatan bahasa, yang dituliskan dalam barisan Puisi Pegon.

Tahu Pegon kan? Itu, jenis tulisan Indonesia atau Jawa yang memakai abjad-abjad Arab dari alif sampai ya’ untuk menuliskannya. Jadi, bukan memakai abjad a sampai z seperti biasa berlaku. Nah, lewat satu rubrik puisi di mading inilah Kia mengenal cinta dan melakukan komunikasi hati dengan “kekasih”-nya, Haidar. Kebetulan Kia dan Haidar terlibat dalam program pertukaran mading antara pondok puteri dan putera.

Tapi, namanya bahasa puisi, maknanya kadang susah juga buat dipahami. Walhasil, hati Kia dan Haidar tetap belum menemukan kepastian kalau mereka saling mencintai. Sementara untuk bertanya langsung, meski beberapa kali keduanya bertemu, baik di ruang tamu untuk urusan mading ataupun di kampus di sela-sela perkuliahan, Kia dan Haidar sama-sama tak melakukannya. Tentu karena beberapa alasan.

Episode cinta dalam diam pun terus berlangsung. Sampai kemudian Kia dihadapkan pada jalan menuju cinta yang lain. Kia diminta oleh Ibu Nyai untuk menikah dengan Gus Luthfi, putera kiai pondok lain. Satu jalan cinta yang bagi kebanyakan santri adalah prestise dan sekali pun Kia tak pernah memimpikannya. 😉

Bola-Bola Santri

Shachree M. Daroini, Matapena, Agustus 2005, vi + 380 hlm

Ngomong-ngomong soal pesantren, pernah kan membayangkan bentuk kehidupan yang berlangsung di dalamnya? Mulai dari kiai dan keluarganya, para santri, sampai orang-orang yang tinggal di sekitaran pesantren?

Dalam beberapa bagian, memang sih tidak ada bedanya dengan kehidupan yang berlangsung di lingkungan kita. Tapi, tetep aja ada bagian-bagian yang berbeda dan “mengunik”. Apalagi jika pesantren itu terletak di pelosok, belum kenal dengan modernitas, dan menerapkan sistem pendidikan salaf, tradisional.

Nah, novel Bola-Bola Santri bermaksud merangkum keunikan-keunikan itu. Novel ini berbicara jujur soal apa yang terjadi dan tak pernah berhenti, terus menggelinding ibarat bola, tentang kehidupan di dalam sebuah pesantren. Dari kelahiran, saat-saat tumbuh dan berubah, dan kematian.

Novel ini juga menunjukkan, konflik perebutan warisan dan kekuasaan tetap bisa ditemukan di dalam pesantren. Bersilih ganti dengan cerita petualangan tiga putera mahkota, Gus Hisyam, Gus Mada, dan Gus Munir, dengan segudang kharisma kegusan mereka. Juga, dengan kelompok sepakbola mereka yang apa adanya, demi mempertahankan nama besar pesantren sang kakek, di mata para penduduk kampung. 🙂

Santri Semelekete

Ma’rifatun Baroroh, Matapena, Agustus 2005, vi + 200 hlm

Apa jadinya kalau cewek seperti Endang Jamilah jadi seorang santri? Cewek anggota geng G@sinx di SMA-nya yang suka ngerjain guru dan ngusilin anak-anak yang kelihatan rada alim, culun, atau bego. Atau kalau enggak ngumpul-ngumpul bikin acara sambil ngerumpi dan menggosip?

Jawabannya, pertama, dia akan bersenandung pilu, “Betapa malang nasibku…” ketika pertama kali memasuki pintu gerbang pesantren. Setelah melihat teman-temannya yang sekarang adalah gadis-gadis berjilbab, berpakaian kolot gedombrohan. Ada yang pakai daster kayak orang hamil, ada yang pakai sarung kedodoran. Jiwanya meronta-ronta, memberontak ingin lepas. Tapi, ia merasa belum mampu untuk keliaran hidup sendiri mencari duit.

Kedua, ia akan ambruk pingsan usai membaca qonun pondok pesantren yang berbaris-baris itu. Barisan peraturan sekolah aja nggak sepanjang itu.

Ketiga, ketika Enjoy dapat kamar baru, pasti ia bakal terkaget-kaget ples heran. Kok beda banget sama peraturan yang di kantor pondok itu. Ia hampir nggak percaya melihat bermacam-macam poster menempel di dinding. Ada gambar Spiderman, Batman, Sakhrukh Khan, Micky Mouse, Avril Lavigne, Iwan Fals, dan Harry Poter. Apalagi di pojokan ada yang lagi asyik manggut-manggut dan geleng-geleng kepala mengikuti irama musik dengan walkman. Sementara mbak Desi sang kepala suku malah lagi asyik mbaca novel Fredy S! Kemudian ia akan bertanya, “Mbak, kok aneh sih. Ini kan melanggar peraturan?”

Keempat, Enjoy akan merasa sangat beruntung menjadi anggota kamar yang “gue banget” itu. Ternyata pesantren tidak seseram yang ia bayangkan.

Tapi, kelima, tetep saja ia bermasalah dengan tugas rutin nyuci baju, ngantri mandi, dan catet! Piket nyuci piring punya anak sekamar. Dan, bisa dipastikan untuk tugas yang terakhir ini, harus ada piring yang dikorbankan alias pecah! Keenam, tetep juga dipakai kalah-kalahan sama kakak seniornya. Ketujuh, ia juga tetep enggak bisa tidur malam gara-gara harus berdesak-desakkan, apalagi di deket Vita yang belum mandi sore. Sementara di samping kirinya si Fera lagi garuk-garuk kepala sambil didis. Meloroti rambutnya helai demi helai mencari telur kutu dengan penuh kenikmatan. Sesekali terdengar bunyi “kletik!” Belum lagi bunyi “Tiuut. Bess!” yang ikutan menambah pengap suasana.

Kedelapan, Enjoy bakalan susah memendam bakat masa lalunya. Dari suka belanja habis-habisan, diam-diam keluar buat dugem, sampai naksir sama ustadznya sendiri.
Kesembilan, ia juga masih berbakat buat ngelabrak cowok-cowok yang coba main-main dengannya.

Kesepuluh, Enjoy perlu suplemen untuk membuatnya bertahan di pesantren.Pastinya begitu. Dan, suplemen itu untungnya sudah Enjoy temukan di ending cerita. 🙂